Biodata
Nama | : | Hamsad Rangkuti | ||
Tgl Lahir | : | 01 Januari 1970 | ||
Asal | : | Medan, Sumatra Utara |
Pendidikan :
SLTA (tidak tamat)
Karier :
Penulis cerita pendek sejak 1962,
SLTA (tidak tamat)
Karier :
Penulis cerita pendek sejak 1962,
Pemimpin Redaksi
Majalah Horison
Profil
Hamsad Rangkuti (lahir di Medan, Sumatera Utara, 7
Mei 1943; umur 67 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia sangat
dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek (cerpen). Gaya penulisan
Hamsad yang khas: realistis, deskriptif, fan kaya detail, seakan-akan
membawa pembacanya masuk pusaran kisah-kisah yang apik, menarik,
sekaligus menggelitik. Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian dan
majalah, terbitan dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, antara lain
dimuat dalam New Voice in Southeast Asia Solidarity (1991), Manoa, Pasific Journal of International Writing, University of Hawaii Presss (1991, Beyond The Horison, Short Stories from Contemporary Indonesia,
Monash Asia Institute, Jurnal Rima, Review of Indonesia and Malaysia
Affairs, University Sydney. Vol. 25,1991. Cerpen-cerpennya juga termuat
dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, antara lain Cerpen-cerpen indonesia Mutakhir, editor Suratman Markasam, 1991.
Telah lama malang-melintang dalam dunia sastra. Dengan
cerpen-cerpennya, ia turut mewarnai kesusastraan Indonesia. “Seorang sastrawan harus total di dalam karyanya, sehingga
bisa menghasilkan karya yang baik,” kata penerima Penghargaan Khusus
Kompas 2001 ini. Ia dinilai setia pada profesinya sebagai penulis cerita
pendek. Orang yang berpenampilan sangat sederhana ini lahir di Titikuning,
Medan, Sumatera Utara. Bersaudara enam orang saudaranya, masa kecil ia
lewatkan di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Ia suka menemani bapaknya, yang
bekerja sebagai penjaga malam yang merangkap sebagai guru mengaji di pasar
kota perkebunan itu.
Kehidupan yang kurang beruntung,
mengharuskan Hamsad membantu ibunya ikut mencari makan dengan menjadi penjual
buah di pasar. Selain, bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan tembakau. “Dulu belum ada semprotan hama, jadi dikerahkan orang untuk
merawatnya. Tiap hari saya ikut ibu membalik-balik daun tembakau, bila ada
ulatnya kita ambil,” paparnya. Setelah terkumpul, ulat-ulat itu mereka
masukkan ke dalam tabung, yang kemudian dihitung jumlahnya oleh mandor
perkebunan,” katanya. Menghadapi kepedihan karena belitan kesulitan
hidup, Hamsad pun sering menghabiskan hari-harinya dengan melamun dan
berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi sesuatu. Berkembanglah berbagai
pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam cerita pendek. Kebetulan juga
ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat mendongeng itu
saya peroleh dari ayah saya. Cuma dia secara lisan, saya dengan tulisan,” katanya.
Tak mampu berlangganan koran dan
membeli buku, Hamsad terpaksa membaca koran tempel di kantor wedana setempat.
Di sanalah ia berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal seperti
Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta
Toer. Dari sini pula kepengarangannya tumbuh dan berkembang. Masih di SMP di
Tanjungbalai, Asahan, ditahun 1959, ia menghasilkan cerpennya yang pertama, ‘Sebuah Nyanyian
di Rambung Tua’, yang dimuat di sebuah koran di Medan.
Pendidikan SMA nya hanya sampai kelas 2 tahun 1961, karena ia tak mampu lagi
membayar uang sekolah.
Hamsad lalu bekerja sebagai pegawai sipil Kantor Kehakiman
Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Tapi hasrat menjadi
pengarang lebih besar daripada bertahan sebagai pegawai. Saat itu kebetulan
akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di
Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang Sumatera Utara di tahun
1964. “Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan tinggal
di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini. Ia tinggal di
Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. “Saya tidur di ubin beralaskan koran. Karena ubinnya lebih
rendah dari jalan, lantainya sering kebanjiran kalau hujan,” kata Hamsad mengungkapkan tahun-tahun awal penderitaannya
di Jakarta. Namun di sini ia bisa menguping obrolan para seniman senior, yang
sedang mengadakan acara kesenian atau sekadar berkumpul-kumpul di sana.
Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis
cerpen yang berhasil. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, seperti ‘Sampah Bulan Desember’ yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan ‘Sukri Membawa Pisau Belati’ yang
diterjemahkan kedalam bahasa Jerman. Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak
Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, ‘Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo’
dan ‘Senyum
Seorang Jenderal’ pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the
Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh
Monash Asia Institute. Tiga kumpulan cerpennya ‘Lukisan Perkawinan’ dan ‘Cemara’
di tahun 1982 serta ‘Sampah Bulan Desember’ di tahun
2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan
Kompas.
Novel pertamanya, ‘Ketika Lampu Berwarna Merah’
memenangkan sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, yang kemudian
diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari
daya imajinasi dan kreativitas. Sehingga ia pernah bilang pada suatu seminar
di Makassar, Sulawesi Selatan, bahwa para seniman rata-rata pembohong. Tapi
bagaimana ia sendiri terilhami? Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan
cerpennya ‘Maukah
Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu’.
Penghargaan:
- Hadiah Harapan Sayembara menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (1981),
- Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999),
- Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
- Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001),
- Penghargaan Khusus KOMPAS (2001),
- Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001),
- SEA Write Award (2008),
- Anugerah Kebudayaan Kategori Anugerah Seni dari Kementerian Kebudayan dan Pariwisata (2014)
Karya Tulis :
- Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
- Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
- Lukisan Perkawinan (1982),
- Cemara (1982),
- Sampah Bulan Desember,
- Sukri Membawa Pisau Belati,
- Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
- Senyum Seorang Jenderal (2001),
- Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu
Proses Kreatif Hamsad Rangkuti
- Cerpen yang Lahir dari Lamunan di Hutan Rambung
Suatu hari, Hamsad Rangkuti
menyendiri di hutan rambung. Ia melihat seorang buruh penderas getah
lagi menyadap getah di tengah hutan yang sunyi itu. Tidak berapa lama,
ada seseorang bersepeda amat tergesa-gesa datang menghampirinya. Mereka
terlihat bercakap-cakap, lalu keduanya pergi meninggalkan hutan itu
berboncengan dengan sepeda.
Hamsad langsung menjalin cerita dalam
kepalanya. Ia membayangkan istri si penderas getah dalam keadaan hamil
tua. Saat istrinya itu masuk ke kamar mandi yang lantainya licin di
barak mereka, ia terpeleset jatuh dan menderita pendarahan yang parah.
Para tetangganya melarikannya ke rumah sakit. Rekan si penderas getah
menjemputnya dengan sepeda. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia
mengenang perjalanan panjang mereka sebelum jadi kuli kontrak.
Cerpen yang dimuat di Koran Indonesia Baru ini merupakan cerpen pertama yang ditulis Hamsad sekaligus cerpen pertama yang dimuat di koran. Saat itu usianya 16 tahun.
- Perseteruan Azan Magrib di Masjid Raya dan Dendang Lagu di Kolam Raja yang Melahirkan Cerpen
Hamsad Rangkuti pernah
tinggal di rumah pamannya di Medan. Pamannya itu selalu mengajaknya
shalat si masjid, terutama shalat Jumat di Mesjid Raya yang berada di
depan Istana Maimun.
Di depan istana itu ada kolam raja. Setiap malam, pemkot menjadikannya
sebagai tempat rekreasi. Lama-kelamaan, tempat itu menjadi taman
hiburan. Dari sana sering terdengar lagu dari pengeras suara yang
disetel keras-keras. Suaranya beradu dengan azan magrib.
Kondisi itu memberikan inspirasi bagi
Hamsad. Ia menulis cerpen dengan tokoh utamanya sebuah masjid. Setiap
kali masjid mengumandangkan azan magrib, orang-orang malah datang ke
kolam raja memenuhi panggilan lagu. Cerpen itu dimuat di mingguan Waspada.
Melalui cerpen itu, Hamsad mendapat perhatian dari seniman-seniman
setempat. Mereka jadi mau meminjamkan buku dan majalah kepada Hamsad.
- Cerpen yang Lahir karena Melihat Kerumunan Orang Menyaksikan Khitanan
Dalam perjalan pulang menggunakan sepeda dari rumah keluarganya di Titikuning, Hamsad Rangkuti
melihat sebuah kerumunan orang di depan rumah penduduk. Sepedanya
terhambat kerumunan orang yang sedang merayakan khitanan anaknya.
Hamsad langsung mendapat ide, ia
membayangkan, orang-orang yang berkerumun itu tidak sedang bergembira,
tapi berduka. Di tengah ruangan rumah, seorang anak yang baru saja
disunat Rasul telah meninggal dunia. Lahirlah cerpen “Sunatan Rasul”
yang dimuat Warta Dunia. Gara-gara cerpen itu, Sori Siregar, penulis terkemuka di Medan, mulai mau membalas sapaannya.
- Ayah, Pohon Pepaya, dan Keponakan Makcik yang Menginspirasi Lahirnya Cerpen
Suatu kali, Hamsad Rangkuti
berkunjung ke rumah Sriwidodo, seorang pelukis yang tinggal di
Karet-Kuningan. Rumahnya berada di daerah pedesaan. Banyak pohon papaya
tumbuh di halaman rumahnya. Setiap kali Hamsad datang ke rumah temannya
itu, ia selalu memandangi pohon-pohon papaya itu. Saat memandangi pohon
papaya itu, ia teringat dengan pamannya di Medan yang selalu mengajaknya
shalat berjamaah di masjid. Ia juga teringat kepada keponakan istri
pamannya itu yang lumpuh dan tinggal di rumah pamannya itu. Tiba-tiba,
Hamsad merasa berdosa karena sudah lama meninggalkan kewajiban shalat.
Dalam suasana hati semacam itu, ia mengambil pena dan menulis cerpen
“Lumpuh”.
- Sebuah Ucapan yang Memicu Lahirnya Cerpen
Suatu hari, di Balai Budaya, Hamsad Rangkuti
mendengar seorang pelukis senior bernama Oesman Efendi berkata kepada
seorang pelukis muda. Katanya, “Kalau kau mau terkenal, penggal kepala
patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu. Kau akan terkenal!”
Ucapan itu merangsang kreativitas Hamsad. Ia pun menulis cerpen berjudul
“Dia Mulai Memanjat”. Dikisahkan dalam cerpen itu, seorang lelaki yang
hendak memenggal kepala patung di Bundaran Senayan.
- Cerita di Oplet yang Melahirkan Dua Judul Cerpen
Waktu Hamsad Rangkuti pulang dari percetakan CV Kosen untuk mengurus pencetakan Horison, ia naik oplet. Di tengah jalan, oplet yang ditumpanginya terhambat kerumunan orang. Sepertinya, sesuatu baru saja terjadi.
Seorang wanita naik ke oplet yang ia
tumpangi. Wanita itu menceritakan penjambretan yang baru saja menimpa
seorang wanita pemilik kalung emas seberat 25 gram. Wanita lain yang
juga mendengar kisah itu nyeletuk. Katanya, ia juga pernah melihat
penjambretan di Bandung. Saat penjambret mengetahui kalung yang
dijambretnya ternyata imitasi, mereka memaksa korbannya menelan kalung
imitasi tersebut. Dari kisah di dalam oplet itu, Hamsad menulis cerpen
“Perbuatan Sadis” dan “Pispot”.
- Lari Pagi yang Menelurkan Cerpen
Suatu ketika, Hamsad Rangkuti
melihat gerobak penjual ketupat saat dia sedang lari pagi. Dari papan
namanya, ia mengetahui pedagang itu menjual ketupat gulai paku. Hamsad
langsung mampir ke gerobak itu dan memesan ketupat gulai paku. Namun, ia
harus kecewa. Ternyata, ketupat yang dijualnya itu tidak pakai sayur
paku atau pakis, tetapi sayur nangka. Kata pedagang itu, ia kesulitan
menemukan sayur pakis belakangan ini.
Dari kejadian itu, Hamsad menulis cerpen
“Ketupat Gulai Paku”. Dikisahkan dalam cerpen itu, seorang lelaki
penderita darah tinggi tergiur untuk mampir ke gerobak penjual ketupat
gulai paku. Terjadi pertentangan dalam batinnya. Akhirnya, ia memutuskan
untuk mampir dan seperti Hamsad, lelaki itu juga harus kecewa karena
ketupat yang dipesannya menggunakan sayur nangka.
- Cerpen yang Lahir dari Sebuah Berita di Koran
Sebuah berita di koran mengabarkan
tentang kesiapsiagaan warga di suatu desa di Jawa yang sangat
berlebihan. Warga sangat mencurigai para pendatang yang berkunjung ke
desa mereka. Sejak pukul enam sore, warga sudah bersiaga menjaga kampung
mereka dari orang yang tak dikenal. Hamsad Rangkuti
ingat pengalamannya minum wedang jahe di warung lesehan Malioboro,
Yogyakarta. Ia membayangkan, minuman itu telah “memabukkan” warga desa.
Lahirlah cerpen “Wedang Jahe”.
- Kerinduan pada Kunang-Kunang yang Melahirkan Sejudul Cerpen
Di kampung halamannya, Hamsad Rangkuti
mudah sekali menemukan kunang-kunang. Setiap malam, pohon-pohon di sana
seperti berubah jadi pohon natal karena nyala kunang-kunang. Saat
mengunjungi kampung halamannya setelah 30 tahun tidak datang ke sana, ia
tidak lagi menemukan kunang-kunang di sana. Sepulang dari kampung
halaman, kepalanya terbentur daun pintu. Saat itulah, ia melihat
kunang-kunang berterbangan di depan matanya. Peristiwa itu melahirkan
cerpen “Kunang-Kunang”.
- Bus Kota yang Memberi Ilham Menulis Cerpen
Hamsad Rangkuti punya
pengalaman naik bus kota yang mungkin biasa saja untuk orang lain, tapi
tidak untuk sang maestero cerpen itu. Saat naik bus kota, ia membayar
ongkos dengan uang 1000. Ongkos bus waktu itu 50 rupiah. Namun, kenek
memberikan kembalian hanya 450 rupiah. Ia ngotot. Menurutnya, Hamsad
hanya menyerahkan uang 500. Pertengkaran pun terjadi. Kenek tetap pada
pendiriannya. Hamsad mengalah. Peristiwa itu mengilhami Hamsad untuk
menulis cerpen “1000? 500! 1000!”
- Cerpen yang Ditulis karena Fenomena Walkman
Bagaimana perasaan Hamsad Rangkuti kalau ia menyaksikan orang asyik dengan gadget-nya masing-masing? Dulu, walkman
pernah jadi tren di Indonesia. Orang-orang berkeliaran di tempat umum
sambil menyumpal telinga mereka, mendengarkan lagu. Bagi Hamsad, mereka
sangat egois. Alat itu membuat mereka menutup diri dari dunia luar,
asyik sendiri. Sebuah cerpen pun lahir untuk mengejek orang-orang yang
suka latah mengikuti tren itu. Cerpen itu ia beri judul “Nyak Bedah”.
- Pemusnahan Hutan Secara Legal yang Melahirkan Dua Judul Cerpen
Hak Penebangan Hutan (HPH) yang diberikan
negara kepada perusahaan-peruhasaan berdampak buruk. Mereka melakukan
pemusnahan hutan dengan menebangi pohon-pohonnya. Sebagai bentuk protes,
Hamsad Rangkuti menulis dua judul cerpen terkait pemusnahan hutan secara legal oleh pemegang HPH itu, “Palasik” dan “Penyakit Sahabat Saya”.
- Kunjungan ke Daerah Transmigrasi yang Melahirkan Cerpen
Hamsad Rangkuti pernah
diminta main film yang disutradarai Matnor Tindaon. Syutingnya dilakukan
di daerah Tulang Bawang, Lampung, selama sebulan. Selama di sana, ia
bergaul dengan para petani transmigran. Dengan begitu, ia jadi banyak
tahu masalah-masalah yang dihadapi oleh transmigran. Pengetahuan itu ia
gunakan untuk menulis cerpen “Petani Itu Sahabat Saya”.
- Cerpen yang Lahir dari Imaji Liar di Atas Kapal Feri
Dalam sebuah perjalanan, Hamsad Rangkuti
harus menyeberang Selat Sunda menggunakan kapal feri. Antara
Merak-Bakahuni itu, Hamsad menyaksikan seorang wanita cantik di atas
geladak kapal. Wanita itu memandangi laut dan Hamsad memandangi wanita
itu. Ia membayangkan wanita itu melemparkan satu per satu barangnya ke
dalam laut sampai tak tersisa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
Imajinasi liar itu menghasilkan cerpen berjudul “Maukah Kau Menghapus
Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu”.
- Kemuakan yang Melahirkan Cerpen
Hamsad Rangkuti tidak
suka melihat tingkah para penyair yang suka nongkrong di Taman Ismail
Marzuki (TIM). Ia merasa muak dengan tingkah para penyair itu. Akhirnya,
ia menulis cerpen berjudul “Sebuah Sajak”. Ia melampiaskan unek-uneknya
dalam cerpen itu.
- Pandangan Selintas dari Bus Kota yang Melahirkan Cerpen
Ketika Hamsad Rangkuti
sedang naik bus, ia melihat dari jendela bus seorang lelaki menekan
kawat sinyal di sisi rel. Seorang wanita yang mengenakan kebaya
melangkahi rentangan kawat sinyal yang ditekan lelaki itu. Setelah
melintas, wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang
berada di tempat duduk si lelaki. Hamsad menyaksikan adegan itu hanya
selintas saja, sebelum busnya melaju semakin jauh. Pandangan selintas
itu melahirkan cerpen “Hukuman untuk Tom”.
- Cerpen yang Lahir karena Kondisi Kritis
Hamsad Rangkuti pernah
mengalami sakit parah sampai ia harus dilarikan ke rumah sakit. Pada
saat-saat kritis itu, kehidupan masa lalunya, terutama kehidupan masa
kecilnya, membayang di hadapannya. Ia seperti melihat orang-orang
dekatnya yang telah meninggal dunia. Kondisi batinnya saat menghadapi
saat-saat kritis itulah yang melahirkan cerpen “Saya Tidak Sedang
Menunggu Tuan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar